Kelompok Seblaka Sesutane tampil perdana membawakan karya

“Sejak dulu sebetulnya ada kesenian yang female impersonated seperti lengger, tapi dulu hal seperti ini tidak diasosisikan dengan jadi gay, atau LGBT. Sekarang dikit-dikit dihakimi ini itu,” kata Rene Lysloff, peneliti lengger yang bicara di salah satu sesi diskusi.

Setelah mendapat seluruh pemahaman ini, di malam terakhir saya mengalami sendiri bagaimana lengger bisa menyihir dan membawa saya ke pengalaman rasa yang mendalam.

Kelompok Seblaka Sesutane tampil perdana membawakan karya “The Cosmos Of Leng”. Mata saya dibuat terpaku pada lekukan tubuh para penari yang dibalut kemben dan kain batik ketat. Tubuh mereka bergerak gemulai mengikuti lirisnya suara calung, lalu sejurus kemudian pundak mereka menghentak-hentak penuh tenaga. Kadang goyangan pantat atau pundak penari didikte oleh seruan penonton, atau malah sebaliknya. Timbal balik ini membuat penonton dan penari menyatu dalam pertukaran energi yang intens. Di satu titik, Muhammad Yusup mengenakan rok lebar lalu berputar-putar menjadi semakin cepat. Matanya terpejam dan menengadah, sementara tangan kanannya terangkat ke atas. Persis tarian sufi.

“Kuwe lanang apa wadon ya?” (itu laki-laki apa perempuan ya?), seorang ibu-ibu di samping saya bergumam, seperti bertanya pada dirinya sendiri. Kami sama-sama terpukau dan tidak lagi merasa perlu menjawabnya.

Sebagai penutup, “Lengger Laut” karya Otniel Dance Community dibawakan memikat. Penuh guyonan, erotis, sekaligus mistis. Selama 1,5 jam, adegan demi adegan ditampilkan, melukiskan hidup Dariah sang lengger yang penuh gelombang. Satu adegan menghisap seluruh perhatian saya adalah ketika Otniel Tasman, masuk melewati penonton sambil memegang slot dana segenggam dupa. Mulutnya merapalkan tembang Banyumasan. Satu orang laki-laki bergulung menempel di kakinya yang melangkah pelan. Bau kemenyan menguar di udara. Namun suasana mistis mencekam meluruh jadi meriah kembali saat semua lengger menarik penonton untuk menari bersama.

Selama tiga hari maraton menonton lengger, hentakan pundak, geyolan bokong, dan sabetan sampur para penari lengger yang begitu menghipnotis saya. Saras Dewi, di esainya “Tubuh yang Elusif” menulis bahwa tubuh penari lengger laki-laki memantik keingintahuan sebab ada keganjilan yang membuat penikmatnya tidak sepenuhnya dapat mengategorikan maupun mengidentifikasi tubuh tersebut. Saya pikir observasi Saras akurat.​